Latest News

Menjelang Detik Terakhir…

PERNAHKAH kita bayangkan diri kita berada di atas ranjang kematian, apakah yang sanggup kita lakukan waktu itu ? Suatu pertanyaan yang mesti dijawab oleh semua insan yang masih hidup. Bagaimanakah keadaan detik-detik terakhir dari nafas kita yang akan berlalu itu? Apakah kita termasuk orang yang suka untuk bertemu Allah (SWT), ataukah sebaliknya menyerupai hamba yang melarikan diri dan takut bertemu tuannya alasannya yakni kesalahan yang dilakukannya?

Belajar dari simpulan kehidupan para salaf yakni amat penting bagi kita, alasannya yakni mereka yakni orang-orang terkemuka dari umat ini, para pemimpin dan ulama kaum muslimin. Sungguh mereka sangat takut kalau kembali kepada Allah SWT dalam keadaan membawa dosa dan kemaksiatan. Marilah kita ambil beberapa pengajaran berharga dari mereka :

Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. tatkala menjelang wafat disediakan untuk ia satu wadah air, ia memasukkan tangannya ke dalam air kemudian mengusapkan ke wajahnya seraya bersabda, “La ilaha illallah, bergotong-royong di dalam kematian ada sakaratul maut.” Kemudian ia menengadahkan kedua tangannya kemudian mengatakan, “Fir Rafiqil A’la” kemudian ia wafat dan tangannya tergeletak lemas.

Ketika Umar al Faruq menjelang ajal, ia berkata kepada puteranya Abdullah, “Letakkan pipiku di atas tanah“, namun Abdullah enggan untuk melaksanakan demikian. Beliau berkata sehingga tiga kali, “Letakkan pipiku di atas tanah, biar Allah SWT melihatku dalam keadaan demikian, kemudian Dia merahmatiku. ” Diriwayatkan, bahwa ia terus menangis sehingga pasir-pasir melekat di kedua mata ia seraya mengatakan, “Celakalah Umar, celaka juga ibunya, kalau Allah SWT tidak memaafkannya.”

Ketika Abu Hurairah sakit yang membawa kematiannya, ia menangis, kemudian ditanya, “Apa yang menciptakan anda menangis?”. Beliau menjawab, “Aku menangis bukan alasannya yakni dunia ini, tetapi saya menangisi perjalanan selepas ini (di akhirat), bekalku yang sedikit, padahal saya akan berada di suatu daerah yang menanjak lagi amat panjang, sedangkan saya tidak tahu akan dimasukkan ke neraka atau ke surga.”

Usman r.a. berkata di simpulan hayatnya, “Tidak ada ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau ya Allah, bergotong-royong saya yakni termasuk orang-orang yang berbuat aniaya. Ya Allah saya mohon derma dalam semua urusanku, dan saya memohon kesabaran dalam menghadapi ujian yang menimpaku.” Wahai manusia! Kini saatnya orang-orang yang tertidur untuk berdiri dari tidurnya, sudah hingga masanya orang yang lalai sadar dari kelalaiannya, sebelum tiba maut dengan membawa kepayahan dan kepahitan, sebelum tubuh berhenti bergerak dan sebelum nafas terputus. Sementara belum memasuki perjalanan menuju alam kubur dan kehidupan alam abadi yang kekal abadi.

Abu Darda’ ketika menjelang wafat berkata, “Apakah seseorang tidak mau bersedekah untuk mempersiapkan pentas usaha ini? Mengapa orang tidak bersedekah untuk menghadapi waktu ini? Mengapa orang tidak bersedekah untuk menyongsong hariku ini? Kemudian ia menangis, maka isteri ia bertanya,”Mengapa engkau menangis, bukankah engkau telah menemani Rasulullah s.a.w.?" Beliau menjawab, “Bagaimana saya tidak menangis sedangkan saya tidak mengetahui bagaimana dosa-dosa telah menyerangku.” Dan berkata Abu Sulaiman ad-Darani, “Aku berkata kepada Ummu Harun seorang perempuan yang rajin beribadah, “Apakah anda senang dengan kematian? Maka dia menjawab, “Tidak!" Aku bertanya, “Mengapa?" Maka dia mejawab, “Demi Allah, andaikan saya berbuat kesalahan kepada makhluk saja, maka saya takut untuk bertemu dengannya, apatah lagi kalau saya berbuat maksiat kepada Khaliq Yang Maha Agung?”

Atha’ as Sulami ditanya tatkala sakit yang menimbulkan kematiannya, “Bagaimanakah keadaan anda? Beliau menjawab, “Kematian berada di leherku, kuburan ada di hadapanku, simpulan zaman yakni simpulan perjalananku, jambatan Jahannam yakni jalanku, dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku“. Kemudian ia menangis dan terus menangis sehingga pingsan. Ketika sadar kembali ia mengucapkan, “Ya Allah, kasihanilah aku, hilangkanlah kesedihan di dalam kuburku, mudahkan kesulitanku ketika menjelang kematian, rahmatilah kedudukanku di hadapan-Mu wahai Zat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih.”

Sementara itu ketika Sulaiman at Taimi telah erat dengan kematiannya, dikatakan kepada beliau, “Kabar bangga buat anda, alasannya yakni anda yakni orang yang sangat bersungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Allah.” Maka ia menjawab, “Janganlah kalian menyampaikan demikian, bergotong-royong saya tidak mengetahui apa yang zahir di hadapan Allah Azza wa Jalla, alasannya yakni Dia telah berfirman, “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah SWT yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. 39:47)

Disebutkan bahwa Abu Darda’ apabila ada seseorang yang meninggal dalam keadaan yang baik, maka ia berkata, “Berbahagialah engkau, andaikan saya sanggup menggantikan dirimu“. Maka Ummu Darda’ bertanya kepadanya perihal hal itu, kemudian ia menjawab, “…. bukankah engkau tahu, bahwa ada seseorang yang pagi harinya dia beriman, namun di petang hari telah menjadi munafik, ia lepaskan keimanannya tanpa dia menyadarinya “

Muhammad al Munkadir menangis tatkala menjelang wafatnya, kemudian ia ditanya, “Apa yang menciptakan anda menangis? Beliau menjawab, “Demi Allah SWT saya menangis bukan alasannya yakni dosa yang saya ketahui telah saya lakukan, namun saya takut kalau telah melaksanakan sesuatu yang saya anggap remeh namun di hadapan Allah SWT ternyata itu yakni sesuatu yang amat besar.”

Sufyan ats Tsauri berkata, “Tidak ada daerah yang lebih dahsyat bagiku daripada (tempat) terjadinya sakaratul maut, saya sangat takut kalau dia (sakarat) terus menerus menekanku, saya telah meminta keringanan, namun dia tidak menghiraukan, sehingga saya terkena fitnahnya.” Kemudian ia menangis semalaman hingga menjelang pagi, ketika ia ditanya, “Apakah tangisan tersebut alasannya yakni dosa? Maka ia mengambil segenggam tanah dan berkata, “Dosa lebih ringan dari pada ini (tanah, maksudnya yakni maut), saya menangis alasannya yakni takut terhadap su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk).”

Shofwan bin Sulaim berkata , “Di dalam kematian ada rahah (istirahat) bagi seorang mukmin dari huru hara dan hiruk pikuk dunia, walaupun mesti mencicipi putusnya nafas dan kepedihan.” Kemudian ia mengalirkan air mata. Wahai saudaraku! Marilah kita anggap diri kita masing masing sebagai seorang yang sedang berbaring menunggu ajal. Saudara dan tetangga sedang mengerumuni kita, kemudian di antara mereka ada yang berkata, “Si Fulan telah berwasiat, sedangkan hartanya telah dihitung.” Ada lagi yang berkata, “Si fulan sudah tidak sanggup berbicara, sudah tidak mengenali para tetangganya dan mulutnya tertutup rapat. Mereka melihat kita, kita mendengar apa yang mereka bicarakan, namun tidak kuasa untuk menjawabnya. Lalu kita lihat anak kita yang masih kecil menangis terisak-isak di sisi kita seraya berkata , “Wahai ayah tercinta siapakah yang akan mengasuhku nanti sehabis ayah pergi? Siapakah yang akan memenuhi keperluanku nanti? Kita mendengar semua itu, namun demi Allah, kita sudah tidak bisa manjawab lagi.

Syafiq bin Ibrahim berkata, “Bersiap-siaplah anda semua di dalam menghadapi kematian, jangan hingga ketika ia tiba kemudian anda minta dikembalikan lagi ke dunia (karena belum beramal).”

Al ‘Alla’ bin Ziyad menyampaikan juga, “Hendaknya setiap orang dari kalian merasakan, bahwa dirinya telah meninggal, kemudian memohon kepada Allah SWT untuk dikembalikan ke dunia, kemudian Allah SWT memenuhinya, maka hendaklah kalian bersedekah ketaatan kepada Allah SWT.“

Syamith bin ‘Ajlan berkata , “Manusia itu ada dua golongan, pertama orang yang terus mencari bekal di dunia, dan kedua orang yang terus bersenang-senang di dunia. Maka perhatikanlah, dari golongan manakah dirimu?”

Diceritakan bahwa suatu hari al Hasan al Bashri melewati sekelompok cowok yang sedang tertawa terbahak-bahak, maka ia bertanya, “Wahai anak saudaraku, apakah kalian pernah menyeberangi ash Shirath (jambatan Jahannam)? Para cowok itu menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian tahu ke nirwana ataukah ke neraka kalian akan dimasukkan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian ia berkata, “Lalu mengapa engkau tertawa demikian ? Semoga Allah SWT memberi maaf kepada kalian semua.” Dan ketika ia menjelang wafat ia menangis seraya mengatakan, “Jiwa yang lemah, sedang urusan sangat dahsyat dan besar, bergotong-royong kita yakni milik Allah SWT dan bergotong-royong kepada-Nya kita akan kembali.”

Wahai saudaraku! Kita semua tidak sanggup membayangkan bagaimanakah keadaan malam pertama di alam kubur itu.

Anas r.a. pernah berkata, “Maukah kalian saya beritahu perihal dua hari dan dua malam yang belum pernah diketahui dan didengar oleh insan (yang masih hidup)? Hari yang pertama yakni hari di mana tiba kepadamu pembawa isu dari Allah SWT, baik dengan membawa keridhaan-Nya ataupun murka-Nya (waktu meninggal-pent), dan kedua yaitu hari dimana kalian dihadapkan kepada Allah SWT untuk mengambil buku catatan amal, dengan tangan kiri atau dengan tangan kanan. Sedangkan dua malam, yakni malam pertama kali di dalam kubur dan malam di mana pagi harinya dilenyapkan tatkala terjadinya Hari Kiamat.”

Kematian yakni masalah yang mengerikan, urusan yang sangat dahsyat, suguhan yang rasanya paling pahit dan tidak disukai. Dia yakni kejadian yang menghancurkan seluruh kelezatan dunia, memutuskan ketenangan, serta pembawa sedih dan kesedihan. Dia memutuskan segala yang telah tersambung, memisahkan anggota tubuh dan menghancurkan seluruh tubuh, sungguh dia yakni masalah yang sangat dahsyat dan mengerikan. Kita bayangkan bagaimana keadaan kita tatkala kita diangkat dari daerah tidur kita, dibawa ke suatu daerah untuk dimandikan, kemudian kita dibungkus dengan kain kafan, keluarga dan tetangga bersedih, saudara dan teman menangis. Orang yang memandikan kita berkata, “Dimanakah isteri si fulan, dia akan melepaskan suaminya pergi, dan dimanakah belum dewasa yatim si fulan, Kalian semua akan ditinggalkan oleh ayah, kalian tidak akan bertemu lagi dengannya sehabis ini.”

Jika para Nabi dan Rasul, shalihin dan muttaqin semuanya mengalami hal itu, maka apakah kita akan terlena dari mengingatnya? Wallahu a’lam bish shawab.

Disarikan dari artikel Buletin Dar Ibnu Khuzaimah, judul ” ‘Ala Firasyil Maut.”

0 Response to "Menjelang Detik Terakhir…"

Total Pageviews