Latest News

Shalat Gerhana Matahari

Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal  SHALAT GERHANA MATAHARI
Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Written by Administrator
Saturday, 27 December 2008
Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal 26 Januari 2009, dan kejadian ini merupakan event pembuka perayaan Tahun Astronomi Internasional 2009 di Indonesia.

Peristiwa ini disebut Gerhana Matahari Cincin (GMC) lantaran piringan Matahari tidak akan sepenuhnya tertutup oleh bayang-bayang Bulan, sehingga pada wilayah yang dilewati GMC, Matahari akan tampak ibarat cincin. Pada momen GMC 26 Januari 2009 ini, bayang-bayang utama (umbra) Bulan yang jatuh di permukaan Bumi hanya selebar 280 km, sehingga tidak seluruh daerah berkesempatan untuk menyaksikan fase cincin. Momen puncak gerhana sendiri hanya berlangsung kurang dari 8 menit.

Jejak perlintasan bayang-bayang Bulan di permukaan Bumi ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal  SHALAT GERHANA MATAHARI

Pada gambar di bawah ini, kedua garis biru masing-masing menandai batas paling utara ("atas") dan paling selatan ("bawah") untuk sanggup menyaksikan fase cincin GMC. Garis merah ialah jejak greatest eclipse, yaitu momen yang berlangsung ketika jarak sumbu bayang-bayang Bulan dengan sentra Bumi mencapai maksimum.

Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal  SHALAT GERHANA MATAHARI

Di Tanjung Karang (Lampung), fase cincin dimulai pukul 16.38 WIB, puncak gerhana 16.41 WIB, dan fase cincin berakhir pada pukul 16.44 WIB.

Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal  SHALAT GERHANA MATAHARI


Si Samarinda (Kaltim), fase cincin dimulai pukul 17.48 WITA, puncak gerhana 17.49 WITA, dan fase cincin berakhir pada pukul 17.50 WITA.

Indonesia akan dilewati oleh perisitiwa Gerhana Matahari Cincin tanggal  SHALAT GERHANA MATAHARI

Sebagian kecil daratan di Sulawesi juga dilintasi bayang-bayang Bulan. Di Manado, awal gerhana (kontak I) dimulai pukul 16.42 WITA, momen puncak gerhana 17.49 WITA, dan final gerhana (kontak 4) pada pukul 18.50 WITA.

Sumber Gambar: Situs NASA Goddard Space Flight Center & Fred Espernak, Situs Hermit Eclipse
Beberapa tim ekspedisi dikala ini sedang bersiap untuk mengamati dan mengabadikan perisitiwa ini, terdiri dari tim dari Observatorium Bosscha - ITB, Unawe Indonesia, Planetarium Jakarta dan Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, LAPAN, dan Himpunan Mahasiswa Astronomi (Himastron) ITB. Mereka akan melaksanakan pengamatan dan penyuluhan pengamatan gerhana bagi guru dan siswa-siswa di Anyer, Banten, dan Lampung.
Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

”Sesungguhnya matahari dan bulan ialah dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi lantaran janjkematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)


Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang memperlihatkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah sebetulnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari kemudian terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang bersahabat dengan masjid), kemudian ia berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi daerah shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)

Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan anutan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih sempurna dilaksanakan di tanah lapang semoga nanti lebih gampang melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)

Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan klarifikasi menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini ialah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا

”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits ini, ia shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh lantaran itu, hal ini memperlihatkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melaksanakan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jikalau shalat tersebut dilaksanakan di masjid lantaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga ialah alasannya terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)

Ketiga: perempuan juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.

Dari Asma` binti Abi Bakr, ia berkata,

أَتَيْتُ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu insan tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melaksanakan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah kemudian memperlihatkan arahan untuk menyampaikan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:

صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat perempuan bersama kaum laki-laki ketika terjadi gerhana matahari.”

Ibnu Hajar mengatakan,

أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul penggalan ini ialah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang perempuan dihentikan shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)

Kesimpulannya, perempuan boleh ikut serta melaksanakan shalat gerhana bersama kaum laki-laki di masjid. Namun, jikalau ditakutkan keluarnya perempuan tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.

Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, ia mengatakan,

أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi kemudian maju dan bertakbir. Beliau melaksanakan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah sehabis shalat gerhana.

Disunnahkah sehabis shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini menurut hadits:

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, ia menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ia shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengimami insan dan ia memanjangkan berdiri. Kemuadian ia ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian ia berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian ia ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian ia sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, ia mengerjakannya ibarat raka’at pertama. Lantas ia beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu ia berkhotbah di hadapan orang banyak, ia memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan ialah dua tanda di antara gejala kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi lantaran janjkematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”

Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah lantaran ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jikalau kalian mengetahui yang saya ketahui, pasti kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Khutbah yang dilakukan ialah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini menurut janji para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai tata caranya.

Ada yang menyampaikan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang beropini bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih besar lengan berkuasa sebagaimana yang dipilih oleh dominan ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

Hal ini menurut hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi kemudian maju dan bertakbir. Beliau melaksanakan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ia shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengimami insan dan ia memanjangkan berdiri. Kemuadian ia ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian ia berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian ia ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian ia sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya ia mengerjakannya ibarat raka’at pertama. Lantas ia beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, semoga tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana ialah sebagai berikut:

[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan lantaran melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan ia shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian berdiri dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak pribadi sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8] Kemudian berdiri dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, kemudian duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian berdiri dari sujud kemudian mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Salam.

[12] Setelah itu imam memberikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi proposal untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Nasehat Terakhir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang sempurna ketika fenomena gerhana ini ialah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang ibarat kebiasaan orang kini ini yang hanya ingin menyaksikan kejadian gerhana dengan menciptakan album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan seruan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu kejadian ini ialah tanda datangnya peristiwa atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut lantaran khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga ia pun mendatangi masjid kemudian ia mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat ia melaksanakan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini ialah gejala kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi lantaran janjkematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah mengakibatkan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:

Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum gejala final zaman ibarat terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa ia shallallahu ’alaihi wa sallam ialah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.

Demikian klarifikasi yang ringkas ini. Semoga goresan pena ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga sanggup mengetahui hal ini. Semoga kita selalu mendapat ilmu yang bermanfaat, sanggup berinfak sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.

Pangukan, Sleman, 25 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

0 Response to "Shalat Gerhana Matahari"

Total Pageviews