Fiqh Indonesia: Tema Pemikiran Hukum Islam Hasbi Ash Shiddieqy (1905-1975 M)
Ditinjau dari sejarah perkembangan pemikiran aturan Islam sebelum kemerdekaan, banyak sekali cara telah dilakukan oleh setiap pemikir Muslim Indonesia untuk memadukan antara budaya dan aturan Islam itu sendiri. Mereka telah mencoba untuk melaksanakan hal tersebut pada fase awal sejarah negara kita. Salah satu dari para pemikir Muslim tersebut ialah Hasbi Ash Shiddieqy, seorang pemikir besar di masanya, yang telah menyumbangkan gagasan yang mencerahkan dan kontroversial di kalangan umat Islam. Maka, dalam makalah ini akan dibahas biografi singkatnya dan pemikiran pembaruannya.
Biografi Singkat
Nama lengkapnya ialah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Ia dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904 di tengah keluarga pejabat. Ada beberapa hal yang menarik pada dirinya. Pertama, ia ialah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah. Dan hanya satu setengah tahun duduk di kursi sekolah Al Irsyad (1926).
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun, Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun lantaran itu, ia dimusuhi, ditawan, dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam beropini ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang yang berasal dari organisasi-organisasi masyarakat lain menyerupai Muhammadiyah dan Persis, padahal ia ialah anggota dari kedua perserikatan itu.
Keempat, ia ialah orang pertama di Indonesia yang semenjak tahun 1940 dan dipertegas lagi semenjak tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh (al-fiqh) yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini sempat mengundang sentakan dari sebagian ulama di Indonesia. Namun, ia tidak pernah mengalah untuk terus menuangkan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan ke dalam karya-karyanya.[1]
Pemikiran Pembaruan Hasbi Ash Shiddieqy
Pada masa awal persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan wacana aturan Islam dari aspek fiqh semakin surut lantaran semua umat Islam disibukkan dengan pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kesibukkan tersebut tidak pernah membuat Hasbi ikut terlena untuk melupakan agenda pembaruan aturan Islam di Indonesia kendatipun banyak para pembaru Muslim di masanya yang mendirikan organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).
Berdasarkan hal tersebut, wacana yang dikembangkan dalam pemikiran keislaman menjadi kurang empiris dan mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat, yang telah menggerakkan Soekarno untuk ikut menyampaikan kritik terhadap kerangka pikir yang selama ini digunakan oleh para ulama. Kungkungan pola pikir para ulama yang berpacu pada fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd dikala memahami iman aturan Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik membuat eksistensi aturan Islam tampak resisten, tidak bisa mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia menjadi panacea bagi duduk masalah sosial-politik. Para ulama secara umum telah melupakan sejarah dan menganggap bahwa mepelajari sejarah tidaklah begitu penting sehingga kritik atas dimensi ini menjadi tidak ada. Dengan semikian, pandangan mereka terhadap fiqh ialah sebagai kebenaran ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menegasikan kritik dan pengembangan, dan bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang membutuhkan kritik dan pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan pandangan gres yang sanggup menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm li ‘l-intiqâd.[2]
Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik menyerupai itulah pemikiran fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, aturan Islam harus bisa menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus bisa hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para ulama (lokal) dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam upaya merumuskan alternatif fiqh gres yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Nalar pemikiran yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia ialah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip aturan Islam gotong royong menyampaikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.[3] Menurutnya, hingga tahun 1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat ialah adanya ikatan emosional yang begitu besar lengan berkuasa (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut oleh umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh gres ala Indonesia, diharapkan kesadaran dan kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama dikala harus melewati langkah pertama, yaitu melaksanakan refleksi historis atas pemikiran aturan Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa aturan Islam gres bisa berjalan dengan baik kalau ia sesuai dengan kesadaran aturan masyarakat. Yakni, aturan yang dibuat oleh keadaan lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat (adat dan ‘urf), bukan dengan memaksakan format aturan Islam yang terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru.[4] Maka, kita sanggup menyimpulkan bahwa pandangan gres fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya berlandaskan pada konsep bahwa aturan Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia ialah aturan Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, selama itu tidak bertentangan syari’at.
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran aturan Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip itu, merupakan prinsip adonan dari setiap madzhab. Maka, untuk menyampaikan pemahaman yang baik, ia memperlihatkan metode analogi-deduktif – satu model istinbâth aturan yang pernah digunakan oleh Imam Abû Hanîfah – untuk membahas satu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia memakai pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan inovasi aturan Islam.
Salah satu pola kasus, ialah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan wacana boleh tidaknya jabat tangan antara pria dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil niscaya dan alasan yang rasional wacana pengharaman jabatan tangan antara pria dan wanita maka ia beropini bahwa tradisi jabat tangan antara pria dan wanita bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.[5]
Penutup
Pemikiran pembaruan yang telah digagas oleh Hasbi Ash Shiddieqy patut untuk kita renungkan dalam membina masa depan umat Islam di Indonesia. Gagasan fiqh Indonesia yang telah ditawarkannya ialah fiqh konteksual, tidak anakronistik, dan sesuai dengan tuntutan zaman.
____________
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan Kedua (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 241-2.
[2] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 63-4.
[3] Ibid., hlm. 65-6.
[4] Ibid., hlm. 67-8.
[5] Ibid., hlm. 69-71.
Posted by Dida at 8:01 PM
HASBI ASH-SHIDDIEQY
(Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, andal ilmu fiqih dan permintaan fiqih, tafsir, dan ilmu kalam.
Ayahnya, Teungku Qadli Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, ialah seorang ulama populer di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya berjulukan Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz. Putri seorang Qadli Kesultanan Aceh Ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi Ash- Shiddieqy ialah keturunan Abubakar ash- Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke- 37 dari khalifah tersebut meletakkan gelar ash- Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan Agamanya di awali di dayah ( pesentren)milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi banyak sekali dayah dari satu kota ke kota lain. Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syeh Muhammad Ibnu Salim Al Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabayadan melanjutkan pendidikan di Madrasah al- Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati ( 1874- 1943),ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran moderen dikala itu. Di sini ia mengambil pelajaran Takhassus (spesialis)dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun. Al- Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang moderen sehingga, sehabis kembali ke Aceh. Hasbi ash- Shiddieqy pribadi bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada Zaman demokrsi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Suryono Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstintuante.
Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidkan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatannya ini di pegangnya hingga tahun1972. Kedalam pengetahuan keislamannya dan legalisasi ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, menyerupai dari Universistas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi Ash-Shiddieqy ialah ulama yang produktif menuliskan pandangan gres pemikiran keislamannya. Karya tulisnya meliputi banyak sekali disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya ialah tentangfiqih (36 judul). Bidang- bidang lainnya ialah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam ; 5 judul). Sedangkan selebihnya ialah tema-tema yang bersifat umum.
Pemikiran
Seperti halnya ulama lain, Hasbi Ash-Shiddieqy berpendirian bahwa syari’at Islam sifat dinamis dan eletis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat,. Ruang lingkupnya.mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Syari’at Islam yang bersumber dari Wahyu Allah SWT., ini kemudian di pahami oleh umat islam melalui metode.ijtihad untuk sanggup mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh. Yang ditulis oleh ulama mujtahid. Di antara mereka yang populer ialah imam-imam mujtahid pendiri mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy- Syafi’I dan Ahmad Hanbal.
Akan tetapi berdasarkan Hasbi Ash-Shiddieqy, banyak umat islam, kususnya di Indonesia, yang tidak membedakan antara syari’at yang berlangsung berasal dari Allah Swt, dan fiqih yang merupakan pemahaman ulama mujtahid terhadap syari’at tersebut. Selama ini terdapat kesan bahwa Islam Indonesia cenderung menganggap fiqih sebagai syari’at yang berlaku absolute. Akibatnya, kitab-kitab fiqih yang ditulis imam-imam mazhab dipandang sebagai sumber syari’at, walaupu terkadang relefansi pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji ulang dengan konteks kekinian., eksekusi alam hasil ijtihat mereka tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial budaya serta lingkungan geografis mereka. Tentu saja hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Menurutnya, aturan fiqih yang di anut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia. Mereka cenderung memeksakan keberlakuan fiqih imam-imam mazhab tersebut. Sebagai alternative terhadap perilaku tersebut, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fiqih Islam yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, umat islam harus sanggup membuat aturan fiqih yang sesuai latar belakang susiokultur dan lerigi masyarakat Indonesia. Namun begitu , hasil ijtihat ulama masa lalu
Bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan di pelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari perilaku fanatic. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relefan dengan situasi masyarakat Indonesia, sanggup diterima dan diterapkan.
Untuk usaha ini, ulama harus membuatkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash-Shiddieqy menolak pandangan bahwa pintu ijtihat telah tertutup, karna ijtihat ialah suatu kebutuhan yang tidak sanggup dielakkan dari masa ke masa. Menurutnya, untuk menuju fiqih Islam yang berwawasan ke Indonesia, ada tiga bentuk ijtihat yang perlu dilakukan.
Pertama. Ijtihat dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama masa lalu. Ini dimaksudkan semoga sanggup dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
Kedua ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat dimana aturan itu berkembang.hukum ini, menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap dengan masalah kontemporer yang timbul sebagai akhir dari kemajuan ilmu dan teknologi, menyerupai transplatsi organ tubuh, bank, asuransi,bank, air susu ibu, dan inseminasi buatan.
Karena kompleksnya permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak bisa terpilah-pilah pada bidang tertentu saja. Permasalahan ekonomi, umpamanya, akan berdampak pula pada aspek-aspek lain. Oleh karna itu menurutnya ijtihat tidak sanggup terealisasi dengan efektif kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi saja. Hasbi Ash-Shiddieqy memperlihatkan gagasan ijtihad jama’I (ijtihat kolektif).anggotanya tidak hanya dari kalangan ulama, tetapi juga dari banyak sekali kalangan muslim lainnya, menyerupai ekonom, dokter, budayawan, dan politikus, yang mempunyai fisi dan wawasan terhadap permasalahan umat Islam, masing-masing mereka yang duduk dalam forum ijtihad kolektif ini berusaha menyampaikan bantuan pemikiran sesua dengan keahlian dan disiplin ilmunya. Dengan demikian rumusan ijtihad yang diputuskan oleh forum ini lebih mendekati kebenaran dan jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan masyarakat ini ia memandang urgensi metodologi pengambilan dan penetapan aturan ( istinbath ) yang telah dirumuskan oleh ulama menyerupai Qias, Istihsan, maslahah mursalah (maslahat)dan urf.
Lewat ijtihad kolektif ini umat Islam Indonesia sanggup merumuskan sendiri fikih yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.rumusan fikih tersebut tidak harus terikat pada salah satu mazhab, merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Dan memang menurutnya aturan yang baik ialah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat, dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan. Hasbi Ash-Shiddieqy bahkan menegaskan bahwa dalam sejarahnya banyak kitab fiqih yang di tulis oleh ulama yang mengacu pada adat istiadat ( urf) suatu daerah. Contoh paling sempurna dalam hal ini ialah pendapat imam Asy-Syafi’I yang berubah sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pendapatnya dikala masih di Irak(Qaul Qadim/pendapat lama) sering berubah dikala ia berada di Mesir ( Qaul Jadid/pendapat baru) karna perbedaan lingkungan adat-istiadat kedua daerah.
Selain pemikiran diatas, ia juga melaksanakan ijtihat untuk menjawab permasalahan aturan yang muncul dalam masyarakat. Dalam duduk masalah zakat, umpamanya, pemikiran ijtihat hasbi Ash- Shiddieqy tergolong dan maju.secara umum ia sependapat dengan jumhur ulama yang menyampaikan bahwa yang menjadi objek zakat ialah harta, bukan orang. Oleh karn aitu, dari harta anak kecil yang belum mukallaf yang telah hingga nisabnya wajib di keluarkan zakatnya oleh walinya.
Hasbi Ash-shiddieqy memandang bahwa zakat ialah ibadah sosial yang bertujuan untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin. Oleh lantaran itu ia beropini bahwa zakat sanggup dipungut dari non muslim( kafir kitabi) untuk diserahkan kembali demi kepentingan mereka sendiri. Ia mendasarkan pendapatnya pada keputusan Umar ibn Al-Khaththab (581-544 M. ), Khalifah kedua sehabis nabi Muhammad saw. Wafat, untuk menyampaikan zakat kepada kaum zimmi atau ahluzzimmah (orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di wilayah Negara Islam) yang sudah bau tanah dan miskin. Umar juga memungut zakat dari Kristen Bani Tughlab. Pendapat ini dilandasi oleh prinsip training kesejahteraan bersama dalam suatu Negara tanpa memandang agama dan golongannya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, karna fungsi sosial zakat ialah untuk mengentaskan kemiskinan, maka prinsip keadilan haruslah di utamakan dalam pemungutan zakat. Ia beropini bahwa standarisasi ukuran nisab sebagai syarat wajib perlu ditinjau ulang. Ia memahami ukuran nisab tidak secara tektual, yaitu sebagai symbol-simbol bilangan yang kaku.ia mendasarkan bahwa nisab zakatmemang telah diatur dan tidak sanggup diubah berdasarkan perkembangan zaman. Akan tetapi, standar nisab ini harus di ukur dengan emas, yaitu 20 miskal atau 90 gram emas. Menurutnya, emas dijadikan standar nisab lantaran nilanya stabil dengan alat tukar.
Sejalan dengan tujuannya untuk membuat kesejahteraan masyarakat, ia memandang bahwa pemerintah sebagai ulil-amri ( penguasa pemerintahan di Negara Islam) sanggup mengambil zakat secara paksa terhadap orang yang enggan membayarnya.Ia juga beropini bahwa pemerintah hendaknya membentuk sebuah dewan zakat ( baitul mal) untuk mengkoordinasi dan mengatur pengeloalaan zakat. Dewan ini haruslah berdiri sendiri, tidak dimasukkan Departemen Keuangan atau perbendaharaan Negara. Karna pentingnya masalah zakat ini, ia mengusulkan semoga pengaturannya dituang dalam bentuk undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum.
Karya
Diantara karya-karya unggulan almarhum ialah :
Tafsir dan ilmu Al Quran:
1. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-nuur
2. Ilmu-ilmu Al-Qur’an
3. Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir
4. Tafsir Al Bayan
Hadist :
1. Mutiara Hadist ( jilid I-VIII)
2. Sejarah dan pengantar ilmu hadist
3. pokok-pokok ilmu dirayah hadist (I-II)
4. koleksi hadist-hadist aturan (I-IX)
Fiqh :
1. Hukum-hukum fiqih islam
2. Pengantar ilmu fiqih
3. pengantar aturan islam
4. pengantar fiqih muamalah
5. fiqih mawaris
6. pedoman shalat
7. pedoman zakat
8. pedoman puasa
9. pedoman haji
10. peradilan dan aturan program islam
11. interaksi fiqih islam dengan syari’at agama lain ( aturan antar golongan)
12. Kuliah ibadah
13. pidana mati dalam syari’at islam
Umum :
1. Al Islam ( Jilid I-II)
Created Ridwan Yayasan Tgk. M. Hasbi Ash Shiddieqy di 22:05
Sumber: http://yayasanhasbi.blogspot.com & http://darul-ulum.blogspot.com
0 Response to "Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy"